Kebusukan di Markas FIFA (Indonesia Pernah Jadi Korban)


Tanya (T): “Selamat sore, bisa bicara sebentar saja dengan Anda, Mr Regenass?”

Jawab (J): “Siapa Anda? Bagaimana Anda bisa tahu nomor telepon kamar ini?”

T: “Saya wartawan Indonesia, ingin bertanya dan menyampaikan hal penting terkait persoalan di PSSI…”

J: “Lihat, saya lagi ada tamu di kamar dan saya tidak tahu Anda. Saya tidak dapat berbicara dengan pers. Terima kasih!”

Klik. Terdengar suara telepon ditutup. Minggu sore itu, Thierry Regenass –Direktur Asosiasi Anggota dan Pengembangan FIFA– yang saya coba kontak lewat telepon kamar hotelnya di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, pun menghabiskan waktu hingga malam hari dengan santai. Di sela-sela acara jamuan makan malam, masih di hotel tersebut, sejumlah wartawan mencoba mendekatinya. Regenass tetap acuh tak acuh.

Baru keesokan harinya, hanya beberapa jam sebelum ia terbang ke Swiss –begitu setidaknya alibi yang disampaikan– ia bersedia buka mulut. Itu dia lakukan dalam jumpa pers bersama beberapa petinggi PSSI. “FIFA berjanji akan bekerja sama dengan PSSI dan Nurdin Halid agar sepak bola Indonesia menjadi lebih baik,” demikian beberapa kutipan kata-katanya yang saya rekam. Bla-bla-bla…, dan seterusnya hingga sesi tanya jawab dibuka:

T: “Mr Regenass, sekedar memberitahu Anda.. Ada dua versi dokumen Statuta PSSI yang berbeda dan beredar di kongres ini menyangkut masalah pasal kriminal anggota Komite Eksekutif. Bagaimana Anda dan FIFA menanggapi hal ini?”

J: “Masalah itu sudah selesai. Statuta ini sudah standar dan sama di seluruh anggota asosiasi…..”
http://www.pssi-football.com)

Direktur Asosiasi Anggota dan Pengembangan FIFA Thierry Regenass (kanan) saat hadir dalam Munaslub PSSI untuk meratifikasi Statuta PSSI di Ancol, Jakarta, 20 April 2009. (Foto: http://www.pssi-football.com)

Pertanyaan tidak terjawab. Di meja depan, pejabat PSSI tersenyum penuh kemenangan. Salah staf PSSI mengedarkan salinan selembar surat dengan kop “FIFA” tertanggal Zurich, 6 Maret 2009 yang ditandatangani Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke dan tembusan pada Presiden AFC Mohammed bin Hammam dan Pejabat Pengembangan FIFA Windsor John. Isi surat itu: pengakuan FIFA atas kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI.

Ada satu kejanggalan, tetapi media tidak lagi semangat mengutak-atiknya setelah berbulan-bulan “bertarung” dengan PSSI. Kejanggalannya, surat pengakuan itu tertanggal 6 Maret 2009, berisi: “…we are pleased to inform you that FIFA can agree to allow PSSI’s current leadership to continue its work until the end of the present mandate which shall expire in the year 2011, provided that the FIFA-conform statutes are indeed ratified by the end of April 2009 (Kami gembira memberi tahu Anda bahwa FIFA sepakat menerima kepemimpinan PSSI saatini agar melanjutkan tugas hingga akhir mandat yang harus selesai tahun 2011, hanya jika statuta persetujuan FIFA benar-benar diratifikasi pada akhir April 2009).

Di mana kejanggalannya? Kongres PSSI, yang meratifikasi Statuta PSSI hasil persetujuan FIFA itu, baru digelar 19-20 April 2009. Namun, persetujuan FIFA –meski dengan syarat– telah diberikan tanggal 6 Maret. Dengan langkah tersebut, FIFA seperti memberi kuitansi kosong pada pengurus PSSI. Atau, mereka telah memberi skor kemenangan 3-0 ketika sebuah pertandingan belum digelar.

Satu kebohongan FIFA lain. Jauh-jauh hari, FIFA menegaskan, ratifikasi Statuta PSSI itu harus dibarengi pemilihan ulang Ketua Umum PSSI. Namun, hal itu mereka ingkari dengan memberi pengesahan dan mandat atas Nurdin Halid. “The AFC President. Mr Mohammed bin Hammam, informed us about his visit to the Football Association of Indonesia and the progress made into the different projects led by the Association (Presiden AFC, Mohammed bin Hammam, telah memberitahu kami soal kunjungannya ke PSSI dan soal kemajuan sejumlah proyek yang dilakukan PSSI).”

Baca selanjutnya………..

Anarkisme Sepakbola Nasional di Wamena


Persisam Putra Samarinda harus membawa berita duka saat bertanding di Stadion Pendidikan Wamena, Sabtu (3/4) malam.

Ya, kata duka tampaknya cocok untuk mengambarkan kondisi pertandingan tersebut mengingat telah matinya slogan Fair Play di ranah Wamena tersebut.

Kota Wamena yang berada di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua tersebut menjadi mimpi buruk pemain Persisam Putra yang berjuang mencari kemenangan perdana mereka di ISL.

Pasalnya, tindakan anarkis yang dilakukan suporter, pemain dan pengurus serta panpel Persiwa Wamena di kota tersebut memaksa tim Pesut Mahakam menerima kekalahan tipis 1-0.

Gol semata wayang Persiwa diciptakan Imanuel Padwa melalui gol kontroversial. Di menit 75′ saat skor masih 0-0, Persiwa mendapatkan pelanggaran di sektor kiri pertahanan Persisam Putra. Tendangan bebas yang dilakukan Imanuel Padwa mengarah ke sisi kiri dan menyentuh jala luar gawang Persisam yang dikawal Mukti Ali Raja. Namun, anehnya wasit melihat itu sebagai gol.

Pemain Persisam Putra pun melakukan protes keras dan mendatangi wasit. Saat sedang protes, puluhan dan kemudian ratusan suporter Persiwa masuk lapangan untuk mengejar pemain Persisam. Kejadian masuknya suporter Wamena itu berawal dari aksi John Banua (manajer Wamena) yang masuk lapangan untuk mengusir ofisial Persisam Putra, hingga akhirnya terjadi penyerangan tersebut.

Punggawa Pesut Mahakam pun tak bisa melakukan perlawanan berarti. Hal itu dikarena jumlah tim Persisam jauh lebih sedikit dibanding tim Persiwa. Apalagi Persiwa Wamena jelas mendapatkan dukungan penuh suporter mereka.

Nasib paling sengsara, diterima Choi Dong Soo yang mengalami luka robek pelipis kanan, kiri dan dahi, ia dipukuli lebih 10 orang di tengah lapangan. Hasilnya Choi pun harus rela kepalanya di jahit untuk menghentikan pendarahan.

Selain itu Danilo Fernando (robek di bibir), Akbar Rasyid (bengkak di dahi), Panggah Mardyantara (bengkak di kepala belakang) dan Ronald Fagundez (bengkak mata kanan) juga menjadi korban. Dengan kejadian ini, Akhirnya pertandingan dihentikan wasit Jerry Elly di menit 75′ dan menyatakan Persisam Putra kalah 1-0.

Sementara itu, terpisah manajer tim Persisam, Coeng Agus Setiawan menjelaskan sebenarnya permainan Persisam jauh lebih baik di banding Persiwa. Serangan pun lebih banyak dilakukan kubu Pesut Mahakam hingga akhirnya terjadi kerusuhan yang membuat buyarnya impian meraih hasil maksimal di laga ini. “Koordinasi antar lini membuat pemain lawan frustasi hingga akhirnya mereka bisa menang dengan kerusuhan tersebut,” ucapnya singkat.
Sumber : Pusamania.org